Thursday, August 18, 2016

Mengenal Trauma Inhalasi pada Penderita Luka Bakar







Trauma inhalasi merupakan suatu masalah yang sulit ditangani dan masih tetap merupakan penyebab kematian utama pada luka bakar. Di Amerika Serikat dari 8000 korban luka bakar per tahun, 60-80% kematian disebabkan oleh karena trauma inhalasi. Trauma inhalasi sangat meningkatkan insidens gagal napas dan ARDS dan juga merupakan penyebab utama pada kematian dini pada korban luka bakar, angka kematiannya berkisar 45-78%. 

Trauma inhalasi masih sulit ditangani dan dari 8000 penderita luka bakar per tahun di Amerika Serikat, 68-80% kematiannya diakibatkan oleh trauma inhalasi. Trauma inhalasi menyebabkan kenaikan insidensi gagal nafas dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga menjadi penyebab utama kematian dini pada penderita luka bakar dengan kisaran 45-78%.

Kerusakan parenkim paru pada trauma inhalasi terjadi melalui 3 mekanisme utama yaitu kerusakan sel dan parenkim karena bahan iritan, hipoksemia, dan kerusakan end organ. Hipoksemia pada trauma inhalasi disebabkan gangguan oxygen delivery akibat bahan yang menyebabkan asfiksia. Sementara itu, absorpsi sistemik dari saluran pernafasan menjadikan kerusakan end organ

Gangguan pernapasan umumnya disebabkan karena kerusakan permukaan epitel saluran pernafasan akibar kerusakan termal atau kimiawi. Kerusakan sekunder disertai pneumonia bakterial dapat terjadi beberapa hari setelah inhalasi, yang selanjutnya menyebabkan kerusakan sel. Proses inflamasi menyebabkan infiltrasi netrofil dan merusak makrofag dalam alveoli, memudahkan bakteri berkembang biak. 

Hipoksemia terjadi karena penurunan konsentrasi oksigen yang dihisap pada tempat kejadian, sumbatan jalan nafas; kerusakan parenkim paru, atau toksin-toksin (sianida dan karbon monoksida) yang menghambat transpor oksigen ke jaringan. Hipoksia mengakibatkan disfungsi multi organ yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat tajam.

Patofisiologi dan derajat kerusakan pada trauma inhalasi bervariasi tergantung pada kandungan aerosol yang terhisap korban, tetapi pada umumnya kerusakan yang ditimbulkan berupa keadaan: sumbatan jalan nafas atas akibat edema progresif, bronkospasme akibat iritasi aerosol, menghilangnya surfaktan diikuti edema alveolar, dan edema interstisiel akibat rusaknya integritas kapiler. Pada trauma inhalasi juga terjadi oklusi jalan nafas kecil, awalnya karena edema, berikutnya diperparah debris endobronkil yang terkelupas dan tidak dapat dikeluarkan karena hilangnya mekanisme pembersihan diri oleh sistem silier.
Kesemuanya itu menyebabkan sumbatan jalan nafas atas dan bawah yang parah dan menimbulkan peningkatan resistensi jalan nafas, penurunan komplians, peningkatan deadspace dan pintasan intra pulmoner. 

Akibat yang berat tersebut mengharuskan dokter mengenali trauma inhalasi seawal mungkin untuk mengantisipasi akibat dengan penanganan yang dini. Kapan seorang dokter harus mencurigai adanya trauma inhalasi? 

Trauma inhalasi harus dicurigai apabila korban terperangkap dalam ruangan tertutup atau korban kehilangan kesadaran selama kebakaran, terutama bila dalam lingkungan asap yang tebal. Kenampakan klinis bisa berbeda tergantung pada kepekaan korban dan derajat paparannya. Manifestasi kerusakan jalan nafas atas berupa iritasi nasofaringeal, suara parau, stridor, dan batuk-batuk. Sementara itu, kerusakan trakeobronkial dan alveolar yang lebih distal menimbulkan dispneu, rasa tidak enak di dada, dan batuk darah. Trauma inhalasi kemungkinan besar terjadi apabila terdapat luka bakar di daerah wajah dan leher, bulu-bulu alis dan hidung yang terbakar, suara nafas bronkial, wheezing, rales, sianosis, dan sputum yang mengandung bercak-bercak karbon. 

Pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting pada penderita terduga trauma inhalasi adalah foto toraks dan analisis gas darah. Foto toraks segera setelah kejadian mungkin masih normal sehingga perlu diulang 24-36 jam kemudian. Bronkoskopi dianggap sebagai gold standard untuk evaluasi awal cedera saluran nafas atas dan sebaiknya dilakukan dalam waktu 24 jam pertama. Dengan cara ini dapat dilihat adanya cedera dalam bronkus besar meskipun foto toraks normal. Pada bronkoskopi mungkin akan tampak adanya eritema mukosa dan edema, erosi dan nekrosis, dan partikel-partikel kecil debu karbon. Pada keadaan yang lebih berat akan nampak sel-sel nekrotik bercampur material intraluminal.

Di tingkat pelayanan primer dan IGD rumah sakit, dokter memiliki peran penting dalam penanganan awal trauma inhalasi. Secara umum, penekanan penanganan akut trauma inhalasi mengikuti panduan Advanced Trauma Life Support (ATLS) dengan tujuan pengamanan jalan nafas. Dokter juga perlu membekali diri dengan kemampuan pertolongan jalan nafas definitif seperti intubasi endotrakeal diikuti dengan menjaga bersihan jalan nafas yang adekuat. 

Meski keterampilan tersebut secara umum telah dibahas dalam pendidikan kedokteran dan kursus ATLS, ada beberapa detail terkait trauma inhalasi yang perlu diperdalam. Untuk sejawat yang berminat, Departemen/SMF Bedah Plastik Rekonstruksi & Estetik FK Unair / RSUD Dr. Soetomo akan menyelenggarakan Symposium & Workshop Emergency Management of Major Burn tanggal 17 September 2016 di Gedung AMEC lantai 2 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Informasi lebih lanjut silakan hubungi Ms. Yuni (0813-3180-4338).



 -EAN-



Sumber :
Noer MS. 2006. Penanganan Luka Bakar Akut dalam Noer MS, Saputro ID, Perdanakusuma DS. 2006. Penanganan Luka Bakar. 
Airlangga University Press: Surabaya

No comments:

Post a Comment