Trauma inhalasi merupakan suatu masalah yang sulit ditangani
dan masih tetap merupakan penyebab kematian utama pada luka bakar. Di Amerika
Serikat dari 8000 korban luka bakar per tahun, 60-80% kematian disebabkan oleh
karena trauma inhalasi. Trauma inhalasi sangat meningkatkan insidens gagal
napas dan ARDS dan juga merupakan penyebab utama pada kematian dini pada korban
luka bakar, angka kematiannya berkisar 45-78%.
Trauma inhalasi masih sulit ditangani dan dari 8000
penderita luka bakar per tahun di Amerika Serikat, 68-80% kematiannya
diakibatkan oleh trauma inhalasi. Trauma inhalasi menyebabkan kenaikan
insidensi gagal nafas dan acute respiratory distress syndrome (ARDS)
sehingga menjadi penyebab utama kematian dini pada penderita luka bakar dengan
kisaran 45-78%.
Kerusakan parenkim paru pada trauma inhalasi terjadi melalui
3 mekanisme utama yaitu kerusakan sel dan parenkim karena bahan iritan,
hipoksemia, dan kerusakan end organ. Hipoksemia pada trauma inhalasi
disebabkan gangguan oxygen delivery akibat bahan yang menyebabkan
asfiksia. Sementara itu, absorpsi sistemik dari saluran pernafasan menjadikan
kerusakan end organ.
Gangguan pernapasan umumnya disebabkan karena kerusakan
permukaan epitel saluran pernafasan akibar kerusakan termal atau kimiawi. Kerusakan sekunder disertai pneumonia
bakterial dapat terjadi beberapa hari setelah inhalasi, yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan sel. Proses inflamasi menyebabkan infiltrasi netrofil dan
merusak makrofag dalam alveoli, memudahkan bakteri berkembang biak.
Hipoksemia terjadi karena penurunan konsentrasi oksigen yang
dihisap pada tempat kejadian, sumbatan jalan nafas; kerusakan parenkim paru,
atau toksin-toksin (sianida dan karbon monoksida) yang menghambat transpor
oksigen ke jaringan. Hipoksia mengakibatkan disfungsi multi organ yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat tajam.
Patofisiologi dan derajat kerusakan pada trauma inhalasi
bervariasi tergantung pada kandungan aerosol yang terhisap korban, tetapi pada
umumnya kerusakan yang ditimbulkan berupa keadaan: sumbatan jalan nafas atas
akibat edema progresif, bronkospasme akibat iritasi aerosol, menghilangnya
surfaktan diikuti edema alveolar, dan edema interstisiel akibat rusaknya
integritas kapiler. Pada trauma inhalasi juga terjadi oklusi jalan nafas kecil,
awalnya karena edema, berikutnya diperparah debris endobronkil yang terkelupas
dan tidak dapat dikeluarkan karena hilangnya mekanisme pembersihan diri oleh
sistem silier.
Kesemuanya itu menyebabkan sumbatan jalan nafas atas dan
bawah yang parah dan menimbulkan peningkatan resistensi jalan nafas, penurunan komplians,
peningkatan deadspace dan pintasan intra pulmoner.
Akibat yang berat tersebut mengharuskan dokter mengenali
trauma inhalasi seawal mungkin untuk mengantisipasi akibat dengan penanganan
yang dini. Kapan seorang dokter harus mencurigai adanya trauma inhalasi?
Trauma inhalasi harus
dicurigai apabila korban terperangkap dalam ruangan tertutup atau korban
kehilangan kesadaran selama kebakaran, terutama bila dalam lingkungan asap yang
tebal. Kenampakan klinis bisa berbeda tergantung pada kepekaan korban dan
derajat paparannya. Manifestasi kerusakan jalan nafas atas berupa iritasi
nasofaringeal, suara parau, stridor, dan batuk-batuk. Sementara itu, kerusakan
trakeobronkial dan alveolar yang lebih distal menimbulkan dispneu, rasa tidak
enak di dada, dan batuk darah. Trauma inhalasi kemungkinan besar terjadi
apabila terdapat luka bakar di daerah wajah dan leher, bulu-bulu alis dan
hidung yang terbakar, suara nafas bronkial, wheezing,
rales, sianosis, dan sputum yang
mengandung bercak-bercak karbon.
Pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting pada penderita
terduga trauma inhalasi adalah foto toraks dan analisis gas darah. Foto toraks
segera setelah kejadian mungkin masih normal sehingga perlu diulang 24-36 jam
kemudian. Bronkoskopi dianggap sebagai gold
standard untuk evaluasi awal cedera saluran nafas atas dan sebaiknya
dilakukan dalam waktu 24 jam pertama. Dengan cara ini dapat dilihat adanya
cedera dalam bronkus besar meskipun foto toraks normal. Pada bronkoskopi
mungkin akan tampak adanya eritema mukosa dan edema, erosi dan nekrosis, dan
partikel-partikel kecil debu karbon. Pada keadaan yang lebih berat akan nampak
sel-sel nekrotik bercampur material intraluminal.
Di tingkat pelayanan primer dan IGD rumah sakit, dokter
memiliki peran penting dalam penanganan awal trauma inhalasi. Secara umum,
penekanan penanganan akut trauma inhalasi mengikuti panduan Advanced Trauma
Life Support (ATLS) dengan tujuan pengamanan jalan nafas. Dokter juga perlu
membekali diri dengan kemampuan pertolongan jalan nafas definitif seperti
intubasi endotrakeal diikuti dengan menjaga bersihan jalan nafas yang adekuat.
Meski keterampilan tersebut secara umum telah dibahas dalam
pendidikan kedokteran dan kursus ATLS, ada beberapa detail terkait trauma
inhalasi yang perlu diperdalam. Untuk sejawat yang berminat, Departemen/SMF
Bedah Plastik Rekonstruksi & Estetik FK Unair / RSUD Dr. Soetomo akan
menyelenggarakan Symposium & Workshop Emergency Management of Major Burn
tanggal 17 September 2016 di Gedung AMEC lantai 2 Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Informasi lebih lanjut silakan hubungi Ms. Yuni
(0813-3180-4338).
-EAN-
Sumber :
Noer MS. 2006. Penanganan Luka Bakar Akut dalam
Noer MS, Saputro ID, Perdanakusuma DS. 2006. Penanganan Luka Bakar. Airlangga University Press: Surabaya
No comments:
Post a Comment